Perangkat Desa Bulukumba Dilema Lolos PPPK Tanpa Gaji Foto: Aktifitas staf Desa Lonrong, Kabupaten Bulukumba.
Bratapos / Pemerintahan

Perangkat Desa Bulukumba Dilema Lolos PPPK Tanpa Gaji

Terbit : 17-Oct-2025, 10:36 WIB // Pewarta : Kacab Jateng, Editor : Kacab Jateng // Viewers : 573 Kali

Bulukumba || Jateng.Bratapos.com – Puluhan perangkat desa di Kabupaten Bulukumba kini menghadapi dilema besar setelah dinyatakan lolos seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu. Mereka harus memilih antara bertahan di jabatan lama dengan gaji stabil sekitar Rp 2 juta per bulan, atau menerima status ASN tanpa kepastian penghasilan selama satu tahun.

Program PPPK paruh waktu dibuka pemerintah pusat untuk memberi kesempatan bagi tenaga non-ASN yang belum lolos seleksi tahap sebelumnya. Namun, kebijakan ini justru memunculkan persoalan baru di tingkat desa, terutama bagi perangkat yang selama ini digaji melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).

Data Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Bulukumba mencatat, ada 31 perangkat desa yang lulus seleksi PPPK paruh waktu tahun anggaran 2024. Dari jumlah itu, 9 orang memilih mundur dari PPPK, sementara 22 lainnya berhenti sebagai perangkat desa.

Keputusan mereka disertai konsekuensi berat. Para perangkat desa yang tetap memilih menjadi PPPK paruh waktu diwajibkan menandatangani surat pernyataan siap tidak menerima gaji selama satu tahun, karena Pemkab Bulukumba belum memiliki alokasi anggaran untuk penggajian formasi tersebut.

Sekretaris Daerah Bulukumba, Muh. Ali Saleng, membenarkan bahwa kebijakan ini menimbulkan dilema bagi daerah.

“Ini yang jadi persoalan, karena belum ada perubahan soal penggajian. Kita tidak punya anggaran untuk itu, makanya semua yang lolos PPPK paruh waktu harus siap dengan konsekuensinya,” ujarnya.

Ali menambahkan, situasi ini menunjukkan bahwa daerah belum sepenuhnya siap mengimplementasikan kebijakan PPPK paruh waktu.

“Dilematis memang, karena sebagian perangkat desa gajinya dari desa, bukan dari pemkab. Formulasinya belum jelas, dan kita memang belum siap,” tambahnya.

Hal senada diungkapkan Camat Herlang, Andi Fidya Samad, yang mengatakan sebagian perangkat desa di wilayahnya juga menghadapi situasi serupa.

“Sudah kami beri pertimbangan soal konsekuensinya. Salah satunya, mereka wajib tanda tangan surat pernyataan siap tidak digaji karena memang tidak dianggarkan,” tegasnya.

Sementara itu, Camat Bontotiro, Andi Alif Amri, menyebutkan dari 30 tenaga non-ASN yang lolos PPPK paruh waktu di wilayahnya, termasuk 22 perangkat desa, hanya 9 orang yang memilih lanjut menjadi PPPK.

“Kami sudah jelaskan konsekuensinya, terutama soal gaji. Mereka harus siap tidak digaji dan tanda tangan pernyataan agar tidak ada tuntutan di kemudian hari,” jelasnya.

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Bulukumba, Hj. Hamrina A. Muri, menegaskan perangkat desa yang lolos PPPK otomatis tidak lagi menerima gaji dari APBDes.

“Begitu mereka lulus PPPK paruh waktu, secara otomatis mereka mundur dari perangkat desa karena statusnya sudah berbeda,” jelas Hamrina.

Ia juga mengkhawatirkan dampak besar terhadap desa karena potensi kehilangan sumber daya manusia berpengalaman.

“Perangkat desa direkrut lewat penjaringan dan sudah dilatih dengan biaya desa. Kalau banyak yang mundur, desa harus mulai dari nol lagi,” ujarnya.

Selain itu, Hamrina menyoroti belum adanya kejelasan soal besaran gaji PPPK paruh waktu.

“Sekarang mereka rata-rata digaji sekitar Rp 2 juta di desa, tapi di PPPK paruh waktu belum jelas berapa gajinya. Apalagi RAPBD 2026 sudah diajukan ke DPRD, jadi belum bisa diakomodasi,” ungkapnya.

Secara hukum, perangkat desa memang tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai PPPK. Hal itu diatur dalam PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK dan PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin ASN, yang menegaskan bahwa ASN wajib bekerja penuh waktu tanpa jabatan rangkap.

Belum adanya kejelasan terkait gaji dan status membuat kebijakan PPPK paruh waktu ini masih menyisakan “ruang abu-abu” di tingkat daerah. Pemerintah desa kebingungan menyesuaikan anggaran, sementara perangkat desa dihadapkan pada dilema antara status ASN dan kestabilan ekonomi keluarga.

Hamrina berharap pemerintah pusat segera memberikan petunjuk teknis (juknis) agar tidak terjadi salah tafsir.

“Kami tidak ingin perangkat desa salah paham. Jangan sampai mereka berharap tetap dapat gaji dari desa, padahal statusnya sudah berbeda,” tutupnya.

Fenomena ini menjadi potret nyata tantangan reformasi birokrasi di tingkat desa, di mana impian menjadi ASN harus dibayar mahal dengan kehilangan penghasilan dan jabatan lama.


Pilihan Untukmu